Rabu, 04 November 2015

" REZEKI BANYAK BENTUKNYA "

Kemarin hujan mulai jam 9 pagi, seorang tukang rujak numpang berteduh di teras ruko saya.
Masih penuh gerobaknya, buah-buah tertata rapi. Kulihat beliau membuka buku kecil, rupanya Al Quran. Beliau tekun dengan Al-Qurannya. Sampai jam 10 hujan blm berhenti.
Saya mulai risau karena sepi tak ada pembeli datang.
Saya keluar memberikan air minum.
“Kalau musim hujan jualannya repot juga ya, Pak… ” .. “Mana masih banyak banget.”
Beliau tersenyum, “Iya bu.. Mudah-mudahan ada rejekinya.. .” jawabnya.
“Aamiin,” kataku.
“Kalau gak abis gimana, Pak?”. tanyaku.
“Kalau gak abis ya risiko, Bu.., kayak semangka, melon yang udah kebuka ya kasih ke tetangga, mereka juga seneng daripada kebuang. kayak bengkoang, jambu, mangga yang masih bagus bisa disimpan. Mudah-mudahan aja dapet nilai sedekah,” katanya tersenyum.
“Kalau hujan terus sampai sore gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Alhamdulillah bu… Berarti rejeki saya hari ini diizinkan banyak berdoa. Kan kalau hujan waktu mustajab buat berdoa bu…” Katanya sambil tersenyum.
“Dikasih kesempatan berdoa juga rejeki, Bu…”
“kalau gak dapet uang gimana, Pak?” tanyaku lagi.
“Berarti rejeki saya bersabar, Bu… Allah yang ngatur rejeki, Bu… Saya bergantung sama Allah.. Apa aja bentuk rejeki yang Allah kasih ya saya syukuri aja. Tapi Alhamdulillah, saya jualan rujak belum pernah kelaparan.
“Pernah gak dapat uang sama sekali, tau tau tetangga ngirimin makanan. Kita hidup cari apa Bu, yang penting bisa makan biar ada tenaga buat ibadah dan usaha,” katanya lagi sambil memasukan Alqurannya ke kotak di gerobak.
“Mumpung hujannya rintik, Bu… Saya bisa jalan ..Makasih yaa ,Bu…”
Saya terpana… Betapa malunya saya, dipenuhi rasa gelisah ketika hujan datang, begitu khawatirnya rejeki materi tak didapat sampai mengabaikan nikmat yang ada di depan mata.
Saya jadi sadar bahwa rizki hidayah, dapat beribadah, dapat bersyukur dan bersabar adalah jauh…jauh lebih berharga daripada uang, harta dan jabatan…

Kamis, 15 Oktober 2015

' WANITA TEGAR "


Suatu hari ada suatu kejadian yang sama sekali tidak pernah kubayangkan...
Seorang wanita sedang menagis terisak-isak, meratapi jalan kehidupannya... dia menangis dan terus menangis sampai matanya bengkak...
apa yang terjadi?
Ternyata dia baru saja dimarahi habis-habisan oleh suaminya. Dengan mudahnya sang suami memaki dan memukuli. Apa kesalahan wanita itu? segitu besarkah kesalahannya sehingga harus dimaki dan disakiti.... Usut punya usut ternyata itu bukan kejadian yang pertama. Suaminya adalah seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan tentu saja penghasilannya juga tidak tetap. seorang laki-laki yang sangat egois. Mungkin bisa dibilang laki-laki yang kurang bertanggung jawab.
mengapa demikian?
siistri yang sudah bekerja keras untuk menghidupan rumah tangga dengan berangkat pagi dan pulang sore, sesampai di rumah suaminya marah-marah karena dia merebahkan diri untuk menghilangkan penat. Suaminya tidak menerima, yang dia inginkan adalah sepulang kerja seharusnya siistri langsung mengerjakan pekerjaan rumah, karena sang suami merasa capek sudah membereskan rumah sewaktu istri pergi bekerja....
Ternyata sang suami sering mengungkit-ngungkit apa yang sudah dilakukan tanpa pernah melihat apa yang sudah dilakukan sang istri untuk dirinya dan anak-anak...
wanita itu terus menangis dan menangis... dengan suara yang serak dan terbata-bata cerita itu perlahan tapi pasti mengalir dari mulutnya...
Sebegitu dalam luka itu...
Sebenar ia tidak ingin menceritakan hal itu, namun dia tidak kuat, dia butuh orang tempat berbagi untuk mendengarkan keluh kesahnya...
karena sesungguhnya dia bisa menerima semua itu, dia mencoba untuk menjalani dengan sekuat tenaga demi buah hati tersayang....
dia tidak ingin hati buah hatinya terluka dan tersakiti, dia tidak ingin buah hatinya menjadi korban keegoisannya
dia juga merasa kok kalau rezeki yang dia dapatkan juga merupakan rezeki sang suami... karena dia sangat yakin kalau Allah memberikan jalan yang terbaik untuk dia...
dan dia berhadrap  dengan ikhlas dan tetap hormat pada suami dalam keadaan apapun semoga Allah mengampuni dosa ayah bundanya...
Subhanallah.... apa yang difikirkannya.... apakah dia benar-benar wanita yang tabah dan kuat. atau dia hidup dalam kepasrahan karena sudah tidak dapat berbuat apa-apa...
siapa yang bisa menjawab... hanya dia dan Allah yang tau...
Cerita itu berhenti dan bibirnya kembali dihiasi senyuman yang tulus...
Hatiku terenyuh...
terbuat dari apa hati wanita ini....
Ya Allah berilah dia kemudahan, lapangkan rezekinya, dan sentuhlah hati suaminya agar sang suami menyadari akan hak dan kewajibannya sebagai seorang ayah dan suami...
Semoga Allah memberi kelembutan perilaku dan kata-kata pada sang suamin...  

                                                                                                                             BY : FATRI AMIDA


Selasa, 29 September 2015

KISAH SEBATANG PENSIL

Si anak lelaki memandangi neneknya yang sedang menulis surat, lalu bertanya, “Apakah Nenek sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita ini tentang aku?”
Sang nenek berhenti menulis surat dan berkata kepada cucunya, “Nenek memang sedang menulis tentang dirimu, sebenarnya, tetapi ada yang lebih penting daripada kata – kata yang sedang Nenek tulis, yakni pensil yang Nenek gunakan. Mudah – mudahan kau menjadi seperti pensil ini, kalau kau sudah dewasa nanti.”
Si anak lelaki merasa heran, diamatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja.
“Tapi pensil itu sama saja dengan pensil – pensil lain yang pernah kulihat!”
“Itu tergantung bagaimana kau memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kau berhasil menerapkannya, kau akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.”
Pertama : Kau sanggup melakukan hal – hal yang besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya.
Kedua : Sesekali Nenek mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik.
Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan – kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa – apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita lakukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan.
Keempat : Yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu.
Dan yang Kelima : Pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kau lakukan. Kau harus tahu bahwa segala sesuatu yang kau lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusahalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu.

"Paulo Coelho"

Jumat, 21 Agustus 2015

RENUNGAN SUAMI ISTRI


“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah.

Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya.
Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja.

Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas.
Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya. Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya.

Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya.
Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah.

Kakeknya mengatakan, jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamu pun juga tidak sama persis dengan maunya.

Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda. Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.

Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur….
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.

Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu.

Memandanginya menyeruakkan berbagai macam perasaan. Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.
Dalam batin, dia bergumam, “Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktivitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan.

Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.

Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku.

Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku, di kala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasehatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki.
Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu? Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata.

Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.

Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumah tangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah azza wa jalla.

Segala puji hanya untuk Allah azza wa jalla yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa air mata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis.
Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian ia pun terlelap.


***
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali.
Aminah, istri Amin, terperanjat “Astaghfirullaah, sudah jam dua?”

Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.

“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.

“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu.

Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah azza wa jalla serta membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu.

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah azza wa jalla yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah azza wa jalla. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..”

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun waj’alna lil muttaqina imama.

[Artikel ini disadur dari grup WA Mu’amalah Syar’iyyah dengan beberapa perubahan]


usnaini ichsan


Kamis, 11 Juni 2015

" JANGAN PERNAH SAKITI WANITA"


Seringkali wanita menangis karena pria, entah karena dikecewakan oleh sikapnya, atau dilukai dengan perkataannya, bahkan ditinggalkan.
Ada sebuah renungan yang mungkin sangat berarti untuk dibagikan pada seluruh sahabat agar lebih menghormati dan menghargai wanita.
Suatu hari, seorang pria berdoa dalam keadaan marah dan emosi. Ia sebal pada pasangannya yang seringkali menangis dan memanfaatkan air mata di setiap perdebatannya. Ia bosan. Sungguh bosan.
Tak mau terlibat dalam emosi yang negatif, ia pun sujud dan berdoa, meminta pertolongan pada Tuhan.
“Tuhan, mengapa sih wanita sering menangis? Aku bosan dan jenuh melihat dan mendengarnya,” keluh pria itu.
Jawab Tuhan kepadanya:
“Karena wanita itu unik. AKU menciptakannya tidak sama seperti kamu. Ia adalah makhluk yang istimewa.
KU kuatkan bahunya untuk menjaga anak-anakmu kelak.
KU lembutkan hatinya untuk memberimu rasa aman.
KU kuatkan rahimnya untuk menyimpan benih manusia.
KU teguhkan pribadinya untuk terus berjuang saat yang lain menyerah.
KU beri naluri untuk tetap menyayangi walau dikhianati dan disakiti oleh orang yang disayangi.
KU hembuskan kasih sayang agar ia bisa mencurahimu dengan perhatian.
KU buat matanya lentik karena ia akan menjadi jendela kedamaian.
KU buat senyumnya merekah seperti mahkota bunga untuk membuatmu tetap mengingat indahnya dunia.
KU buat tangannya terampil untuk menjagamu agar tak pernah kekurangan.
Tapi jika suatu saat ia menangis.
Itu karena AKU memberikannya air mata untuk membasuh luka batin dan memberikan kekuatan yang baru. Bukanlah sebuah tanda kelemahan dan kekalahan.”
Pria itupun tertegun sejenak. Diambilnya langkah bergegas, dipeluk dan diusapnya air mata di pipi orang yang dicintainya. “Aku akan membantumu menghapus luka batin itu…”

Jadi, jangan pernah menyakiti wanita.

"HUTANG KEPADA ANAK ANAK KITA"

Kita selalu berhutang banyak cinta kepada anak-anak. Tidak jarang, kita memarahi mereka saat kita lelah. Kita membentak mereka padahal mereka belum benar-benar paham kesalahan yang mereka lakukan. Kita membuat mereka menangis karena kita ingin lebih dimengerti dan didengarkan. Tetapi seburuk apapun kita memperlakukan mereka, segalak apapun kita kepada mereka, semarah apapun kita pernah membentak mereka... Mereka akan tetap mendatangi kita dengan senyum kecilnya, menghibur kita dengan tawa kecilnya, menggenggam tangan kita dengan tangan kecilnya... Seolah semuanya baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya... Mereka selalu punya banyak cinta untuk kita, meski seringkali kita tak membalas cinta mereka dengan cukup.
Kita selalu berhutang banyak kebahagiaan untuk anak-anak kita. Kita bilang kita bekerja keras demi kebahagiaan mereka, tetapi kenyataannya merekalah yang justru membahagiakan kita dalam lelah di sisa waktu dan tenaga kita. Kita merasa bahwa kita bisa menghibur kesedihan mereka atau menghapus air mata dari pipi-pipi kecil mereka, tetapi sebenarnya kitalah yang selalu mereka bahagiakan... Merekalah yang selalu berhasil membuang kesedihan kita, melapangkan kepenatan kita, menghapus air mata kita.
Kita selalu berhutang banyak waktu tentang anak-anak kita. Dalam 24 jam, berapa lama waktu yang kita miliki untuk berbicara, mendengarkan, memeluk, mendekap, dan bermain dengan mereka? Dari waktu hidup kita bersama mereka, seberapa keras kita bekerja untuk menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya di hari-hari mereka, melukis senyum sejati di wajah mungil mereka?
Tentang anak-anak, sesungguhnya merekalah yang selalu lebih dewasa dan bijaksana daripada kita. Merekalah yang selalu mengajari dan membimbing kita menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Seburuk apapun kita sebagai orangtua, mereka selalu siap kapan saja untuk menjadi anak-anak terbaik yang pernah kita punya.
Kita selalu berhutang kepada anak-anak kita... Anak-anak yang setiap hari menjadi korban dari betapa buruknya cara kita mengelola emosi. Anak-anak yang terbakar residu ketidakbecusan kita saat mencoba menjadi manusia dewasa. Anak-anak yang menanggung konsekuensi dari nasib buruk yang setiap hari kita buat sendiri. Anak-anak yang barangkali masa depannya terkorbankan gara-gara kita tak bisa merancang masa depan kita sendiri.
... Tetapi mereka tetap tersenyum, mereka tetap memberi kita banyak cinta, mereka selalu mencoba membuat kita bahagia.
Maka marilah kita dekap anak-anak kita, tataplah mata mereka dengan kasih sayang dan penyesalan, katakan kepada mereka, "Maafkan untuk hutang-hutang yang belum terbayarkan... Maafkan jika semua hutang ini telah membuat Tuhan tak berkenan. Maafkan karena hanya pemaafan dan kebahagiaan kalianlah yang bisa membuat hidup abi dan umi lebih baik dari sebelumnya... Lebih baik dari sebelumnya."

Fahd Pahdepie
Sydney 2015

" Arti Kesetiaan "

Kisah nyata yang bagus sekali untuk contoh kita semua yang saya dapat dari millis sebelah (kisah ini pernah ditayangkan di MetroTV). Semoga kita dapat mengambil pelajaran.
Ini cerita nyata, beliau adalah Bp. Eko Pratomo Suyatno, Direktur Fortis Asset Management yg sangat terkenal di kalangan Pasar Modal dan Investment, beliau juga sangat sukses dlm memajukan industri Reksadana di Indonesia. Apa yg diutarakan beliau adalah sangat benar sekali. Silakan baca dan dihayati.
————————————————————————————————–
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua.Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak.
Disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak keempat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga, seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja, dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum.
Untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas waktu maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang, bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari, ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah, sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yang merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yg sulung berkata “Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu, tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu”.
Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata-kata: “sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak. Kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak-anaknya: “Anak-anakku… Jikalau perkawinan & hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah.. tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. Sejenak kerongkongannya tersekat, kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat dihargai dengan apapun.”
“Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain? Bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.”
Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak suyatno. Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno. Dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno, kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa.
Disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio, kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru. Disitulah Pak Suyatno bercerita..” Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian) itu adalah kesia-siaan”.
“Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama. Dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit…”

                                    
 By : Usnaini Ihsan

" Secukupnya Tapi Mendalam "

                                                              
Judul di atas adalah sikap Rasulullah ketika terjadi peristiwa yang ibarat danau, airnya telah dibuat beriak oleh satu peristiwa yang terjadi. Para sahabat di sekeliling beliau, siap memberikan respon dan reaksi, tapi respon dan reaksi yang paling baik datang dari Rasulullah. Tidak kurang, tidak lebih, secukupnya tapi mendalam, kena.

Satu hari, di Masjid Nabi, Rasulullah dan para sahabatnya sedang berkumpul dalam halaqah, majelis ilmu, membahas sesuatu. Masjid Nabi, lantainya masih pasir, tak ada ubin, apalagi sajadah. Dan mereka duduk, shalat, ruku’ dan sujud di atasnya.

Ketika kelompok manusia terbaik ini berkumpul dan mempelajari ilmu dan perintah Allah, tiba-tiba datang seorang lelaki Badui, lelaki desa nan udik ke dalam Masjid Nabi. Kita semua mengetahui kisahnya. Sebagian besar kaum Muslimin bahkan telah hapal ujung ceritanya. Tapi mari, sekali lagi kita belajar dari sudut pandang yang sedikit lain.

Lelaki Badui ini, tak datang untuk bergabung dalam halaqah nan mulia. Lelaki ini terus berjalan, menuju ujung ruangan, di pojok bangunan Masjid Nabi. Di sana, dia tengok kanan dan kiri. Mengangkat kainnya dan berjongkok di ujung ruangan untuk menuntaskan hajatnya. Lelaki Badui ini buang air kecil, buang air kecil!

Para sahabat yang berada di masjid dan sedang berhalaqah, seketika bergejolak. Mereka hendak berdiri, entah dengan niat melakukan apa di hati masing-masing. Para sahabat marah. Dan kemarahan mereka sangat wajah, ini Masjid Nabi, bukan tempat buang hajat. Para sahabat berhamburan, berdiri, segera berjalan menghampiri lelaki Badui yang sedang menuntaskan hajatnya tadi. Di wajah-wajah mereka, para sahabat mulia itu, nampak kemarahan yang siap meledak.

Tapi Rasulullah memanggil dan menenangkan semua sahabat yang sudah siap mengambil aksi. “Jangan, biarkan dia. Jangan menganggunya. Biarkan dia menyelesaikan kencingnya,” ujar Rasulullah saw.

Setelah lelaki Badui ini menyelesaikan urusannya, Rasulullah memanggilnya dengan nada lembut. Padahal, para sahabat, semuanya, sudah berada pada titik didih. Lelaki Badui ini datang dan berjalan pelan menghampiri  Rasulullah. Beliau menangkap atmosfer kemarahan yang mengepungnya. Tapi hanya Rasulullah yang ditujunya.

Dengan halus, ketika lelaki Badui ini berada di depan beliau, Rasulullah berkata, “Sesungguhnya, masjid ini dibangun bukan untuk itu (maksudnya untuk buang hajat). Masjid ini dibangun untuk shalat dan membaca al Qur’an.”

Hanya itu, tidak kurang, tidak berlebihan. Singkat, tapi tepat sasaran.

Lelaki Badui ini paham, dan lalu pergi meninggalkan Masjid Nabi. Tak lama waktu shalat tiba, dan Rasulullah memimpin para sahabat untuk menunaikan shalat. Dan yang menarik, lelaki Badui ini bergabung bersama untuk shalat jamaah. Dan Rasulullah pun memimpin shalat.

kisah inspirasi islami
Seperti biasa, Rasulullah melakukan shalat. Sampai ketika bangkit ruku’, Rasulullah mengucapkan , “Sami’Allahu liman Hamidah.” Allah mendengar orang yang memuji-Nya.

Para sahabat kemudian menjawab dengan ucapan, “Rabbana walakal Hamdu.” Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu.

Di luar dugaan, lelaki Badui, ya betul, lelaki Badui yang tadi, menambahkan doanya lebih panjang dari para sahabat.  “Rabbana walakal Hamdu. Allahumarhamni wa Muhammadan, wala Tarham ma’ana ahadan.”  Tuhan kami, segala puji hanya untuk-Mu. Ya Allah, sayangilah aku dan Muhammad. Dan jangan sayangi orang-orang selain kami berdua.

Doa ini dibaca dengan lantang, sampai-sampai Rasulullah mendengarnya. Dan tentu saja, para sahabat yang ada juga mendengarnya. Memang lelaki Badui ini, yang seringkali disebut tidak berpendidikan dan memilik karakter unik, telah menyalahi rukun dari bacaan shalat. Tapi pelajarannya yang seringkali kita tidak perhatikan adalah, lihatlah isi doanya. Doa yang mencerminkan, bahwa Rasulullah telah menguasai hatinya. Doa yang memperlihatkan, bahwa dia juga menolak, sekurang-kurangnya tak mau dengan para sahabat yang ada.

Lelaki Badui ini, yang mohon maaf, sekali lagi kelompok ini sering  disebut sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpendidikan, telah menempatkan Rasulullah di tempat yang sangat berpengaruh dalam hidupnya, dalam pikirannya, dalam doanya, dalam permintaannya kepada Allah. Sehingga dia berharap hanya Rasulullah dan dirinya saja yang dirahmati Allah. Dan tentu saja, ketika seseorang menempati posisi yang istimewa, maka istimewa pula letak nasihatnya.

Selepas shalat, Rasulullah berbalik badan. Lalu beliau memanggil lelaki Badui ini dan berkata singkat, “Engkau telah membatasi sesuatu yang sangat luas.” Ya, singkat, sesuai dengan kebutuhan bagi seorang lelaki Badui yang tentu saja tingkat pemahamannya tidak sama dengan sahabat-sahabat utama seperti Abubakar, Umar bin Khattab atau sahabat yang lain.